ads

Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

NU, Komite Hijaz dan Sejarah Bangsa

16 Rajab 1438 Hijriyah, adalah hari lahir organisasi Islam terbesar di Indonesia—dan dunia, Nahdlatul Ulama (NU). Tepat 94 tahun yang lalu dalam kelender hijriyah, dimotori duo KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah, sejumlah kiai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Madura berkumpul di kediaman Kiai Wahab di Surabaya, menyepakati perkumpulan yang sebenarnya sudah memiliki embrio jauh sebelum itu.

Beberapa tahun sebelumnya, sejumlah kiai yang kelak mendirikan NU telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Waton atau Kebangkitan Tanah Air (1916) serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar (1918). Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya (1914) juga mendirikan kelompok diskusi yang ia namai Taswirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran. Nahdlatul Ulama tak lain adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya tersebut, namun dengan cakupan yang lebih luas.

Pada awal 1920, Nusantara masih dikuasai penjajah Belanda. Rakyat masih miskin dan bodoh, karena sumber daya ekonomi dikuasai Belanda dan sekolah hanya diperuntukkan bagi kalangan priyayi yang direncanakan dan didesain untuk menjadi ambtenaar Belanda. Di desa-desa, rakyat jelata berkubang dalam kemiskinan dan kebodohan.

Didorong oleh realitas tersebut dan juga semangat mengamalkan ilmu yang didapat, kiai-kiai, kalangan muslim-tradisional terdidik yang tinggal di desa, mulai mendirikan pesantren untuk mendidik orang-orang desa dari buta aksara dan tuna pengetahuan. Sebagian besar yang diajarkan nilai-nilai agama, namun pada kenyataannya mereka yang nyantri belajar lebih dari itu. Dengan adanya pesantren, banyak warga desa yang sebelumnya tidak bisa baca tulis menjadi bisa baca tulis, namun dalam bentuk Arab pegon. Tapi dari situlah transformasi pengetahuan, wawasan dan literasi terjadi.

Dengan makin banyaknya pesantren, masyarakat yang memeluk Islam juga makin banyak. Namun berbeda dengan kalangan pembaharu puritan yang mendorong pemurnian Islam dari tradisi-tradisi lokal yang dianggap bid’ah, kiai-kiai pesantren menerima dan mengasimilasikan tradisi lokal dengan nilai-nilai Islam. Sehingga warga pribumi Jawa tidak merasa tercerabut dari akarnya ketika memeluk dan mempraktekkan ajaran Islam.

Namun tekanan kaum puritan yang mengatasnamakan kembali kepada Qur’an dan Hadist membuat banyak kiai merasa tidak nyaman. Tekanan terbesar terhadap kelompok pesantren terjadi ketika terjadi perubahan di Timur Tengah, yang mana Abdul Aziz bin Abdul Rahman atau dikenal dengan sebutan Ibnu Saud menguasai Mekah-Madinah. Ibnu Saud yang berpandangan Wahabi hendak menerapkan azas tunggal Wahabi dan memberangus madzhab-madzhab lain di dua tempat suci orang Islam tersebut dan ingin menghancurkan situs-situs peninggalan Nabi yang dianggap bisa menyeret pada kemusyrikan.

Para kiai pesantren yang sebagian pernah belajar di Mekah-Madinah pun saling berkomunikasi dan membahas persoalan tersebut. Setelah lewat proses komunikasi yang panjang, KH Wahab Chasbullah beserta KH Hasyim Asy’ari mengundang sejumlah kiai untuk rapat di Surabaya, di kediaman Kiai Wahab. Di situ disepakati bahwa kiai-kiai hendak mengirim utusan untuk mengajukan keberatan kepada Raja Abdul Aziz. Pertemuan yang dikenal dengan istilah Komite Hijaz melahirkan sejumlah tuntutan, diantaranya:
1. Meminta Raja Ibnu Saud untuk tetap memberikan kemerdekaan bermadzhab bagi umat Islam di Hijaz.
2. Memohon agar tempat-tempat bersejarah peninggalan jaman Nabi tidak dihancurkan, termasuk makam puteri-puteri Nabi.
3. Meminta agar biaya yang dikenakan kepada jemaah haji diumumkan ke publik dunia.

Namun untuk bisa mengirimkan surat dan utusan ke Saudi, para kiai butuh payung organisasi. Maka dari itulah, diikuti kesadaran tentang pentingnya berjam’iyah sebagaimana disitir KH Hasyim Asy’ari di Mukadimah Qanun Asasi NU, maka para kiai tersebut menyepakati membentuk organisasi dengan nama Nahdlatul Ulama. Meski pembahasan tentang keberatan terkait kebijakan Ibnu Saud sudah dibahas saat pendirian NU pada 16 Rajab 1344 Hijriyah atau 31 Januari 1926, namun karena berbagai kendala delegasi ke Arab Saudi yang diwakili oleh KH Wahab Chasbullah serta Syaikh Ahmad Ghonaim Al-Mishri baru bisa berangkat 7 Mei 1928 atau 5 Syawal 1346 Hijriyah, dua setengah tahun setelah NU berdiri.

Komite Hijaz boleh dikata adalah produk politik pertama Nahdlatul Ulama, yang menunjukkan semangat organisasi ini dalam memperjuangkan kebebasan bermadzhab dalam Islam. Dalam sejarahnya, NU memang tampil sebagai organisasi Islam moderat di Indonesia yang mampu menerima tradisi-tradisi lokal serta beradaptasi terhadap perubahan jaman. Di NU dikenal luas maqolah “Almuhafadhoh alal qodimis solih wal akhdu bil jadidil aslah” atau “Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.”

NU juga dikenal sebagai organisasi yang tak mempertentangkan antara kebangsaan dan keislaman. Di Indonesia, menyadari kebhinekaan yang ada, NU menerima Pancasila dan tak menuntut syariat Islam diterapkan secara formal. Maka tak heran NU sering disebut salah satu soko guru negara-bangsa Indonesia.

Sikap terbuka NU atas keragaman dan perbedaan tidak mengherankan, selain karena dipengaruhi budaya eklektik Nusantara juga karena NU memiliki prinsip tawasut (moderat), tasamuh (toleran) serta tawazun (proporsional) dalam menyikapi berbagai persoalan, baik sosial, politik maupun keagamaan. Prinsip ini mendasari dan sekaligus memagari NU sehingga tidak jatuh dalam sikap radikal atau ekstrem (tathorruf).

Di NU, perdebatan dan perbedaan menjadi sesuatu yang biasa dan diterima, tak jarang dengan canda-tawa. Di forum-forum rapat atau bahtsul-masail NU, kiai-kiai bisa berdebat dengan sengit tapi ketika situasi sudah sangat panas maka ada saja yang melempar joke/guyonan yang membuat jamaah forum tertawa bersama.

NU memang unik. Hari lahir NU juga terbilang unik. Karena tiap tahun Harlah NU diperingati dua kali, 16 Rajab serta 31 Januari. Peringatan pertama berdasar kalender hijriyah, peringatan kedua berdasar masehi. Berdasar dua penanggalan berbeda itu, umur NU jadinya juga berbeda.

KAROMAH AL HABIB ALI AL HABSYI (PENGARANG MAULID SHIMTUD DHURAAR)

Diriwayatkan bahwa Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (shohibu simtudduror), adalah seorang Wali Allah yang bisa mendengar suara tasbih (Subhanallah) dari barang-barang mati kepada Allah Swt.

Pada suatu saat, beliau mendengar tasbih barang-barang mati yang ada di sekitar beliau seperti lemari, meja dan lainnya seperti biasanya, tapi beliau heran ketika ada suara tasbih yang lebih keras dari pada yang lainnya, karena rasa penasarannya tersebut beliau berusaha mencari suara tersebut berasal dari mana.
Setelah beliau mencari, ternyata beliau menemukan si pemilik suara tasbih yang keras tadi, yaitu biji kurma.

Lalu beliau bertanya kepada biji kurma kenapa suara tasbihnya bisa lebih keras dari suara tasbih barang-barang lainnya, biji kurma lantas menjawab:
“Ya Habib, karena aku ini anaknya-anaknya-anaknya lagi biji kurma yang di tanam langsung oleh tangan Rasulullah SAW (kurma Ajwa)”.

Subhanallah…

Sesuatu yang berkaitan atau berhubungan dengan Rasulullah SAW akan ikut mulia. Lebih-lebih jika hati yg berkaitan dgn Rasulullah SAW. Sebagaimana keadaan Habib Ali Al Habsyi yg menghabiskan seluruh hidupnya untuk memuji Rasulullah SAW, dengan ribuan qosidah baik yg berbahasa fusha atau amiyah. Dan beliau seringkali menangis setiap mendengar nama Rasulullah disebut, karena sangat berkaitannya hati beliau dengan Rasulullah SAW.

Disebutkan dalam manaqib Habib Ali, diantara tanda ketinggian haliyah beliau tampak ketika beliau hendak berbicara di depan khalayak maka sebelum beliau mengucapkan sepatah kata para hadirin telah hujan tangis terlebih dahulu…baru memandang wajah beliau orang2 sudah bercucuran air mata.

Keagungan al Habib Ali al Habsyi pun diakui oleh para ulama yang hidup sezamannya. Dalam suatu majlis, Sohibul Anfas Habib Ahmad bin Hasan Al Athos, seorang wali min auliyaillah yg hidup sezaman dg Habib Ali mendapat kabar bahwa sahabatnya yg bernama Jakfar bin Hamid bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW dan Beliau Rasulullah SAW berkata, “:Ali Alhabsyi , amal perbuatannya dan amal perbuatan para muridnya semua diterima oleh Allah Ta’ala “. Maka Habib Ahmad bin Hasan Al Athos berkata “Jika demikian, maka mulai saat ini kami ini adalah murid-muridmu, Wahai Ali”. Habib Ali menjawab, “Kalian semua adalah murid-muridku”

Syaikh Yusuf bin Ismail an Nabhani memasukkan Habib Ali dalam kitab Jami’ Karomatil Auliya meski secara dzohir Syekh Yusuf tidak pernah bertemu dg Habib Ali.

Disaksikan pula oleh penjaga makam Rasulullah bahwa setiap hari Rasulullah selalu hadir bersama Habib Ali di qubah Rasulullah.
.
Alhabib Abdul Qodir bin Qudban pernah berkata kepada al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi :
.
“Ya.. Habib Ali kenapa setiap aku melihat arwah para salaf Ahli Tarim dan aku bertanya kepada mereka hendak ke manakah kalian wahai para salafku ,maka mereka menjawab kami akan ke Ali Habsyi…!
.
Al-Habib Ali menjawab : “Wahai Abdul Qodir, itu semua karena aku telah memegang Ketuanya.. aku memegang teguh Muhammad Sayyidil Wujud…Shallallau ‘Alaihi Wa Sallam.”

Habib Abubakar bin Abdulloh bin Thalib Al Attos adalah Syekh Futuh Habib Ali yg menuntun ruhani Habib Ali dan mempertemukannya dg Rasulullah SAW secara terjaga sebanyak 20 kali.

Dan beliau Habib Abu Bakar berkata

ﻳَﺎ ﻋَﻠِﻰ ﺑﺎَﺗَﻜُﻮﻥ ﻣَﻐﻨَﺎﻃِﻴﺲ ﺍﻟﻘُﻠُﻮﺏ
.
“Engkau akan menjadi magnet nya hati ( semua hati akan tertarik dan mendekat padamu….”

Kelak perkataan Habib Abu Bakar pun terbukti melalui dua warisan berharga Habib Ali al Habsyi. Maulid Simtudduror dan Sholawat Lathoiful Arsyiyah. Dua aurod yg banyak berjasa mengantarkan para salikin washil ke hadirat Rasulullah saw. Al Habib Ali radhiyaAllahu anhu berkata, “Maulidku ini akan tersebar ke tengah tengah masyarakat, dan akan mengumpulkan mereka di jalan Allah subhanahu wata’ala serta membuat mereka dicintai Rasulullah salallahu alaihi wa sallam. Jika seseorang menjadikan kitab maulidku ini sebagai salah satu wiridnya dan menjaganya, maka sir (rahasia) Al Musthafa Muhammad salallahu alaihi wa sallam akan terpancar pada dirinya baik dhohir maupun batin.”

Kata Abah Guru Sekumpul, “Jadikanlah Maulid Simtudduror ini sebagai Wirid, karena Rasulullah selalu hadir bila dibacakan Maulid al Habsyi yang isinya kisah Rasulullah dan memuji Rasulullah saw.”
Dan kata beliau, “Siapa yang hadir majelis maulid mulai awal sampai akhir d imanapun majelisnya, duduk di manapun,maka ia akan dapat barokah yang sangat luar biasa dan Rasulullah memberikan syafa’atnya kepadanya.dan ia termasuk golongan orang2 sholeh karena Rasulullah pasti hadir bila dibacakan maulid memuji Rasulullah saw.”
Dan kata beliau lagi,,”Siapa yang hadir majelis maulid maka rezekinya akan bertambah dan panjang umur.”
Beliau juga berkata, “Seluruh huruf yg ada di maulid adalah dzatiyyah Rasulullah saw”

HUKUM MENEMUKAN BARANG

Dalam istilah fikih, barang yang ditemukan di tempat terbuka (bukan di tempat terjaga) dinamakan Luqathah, di mana pihak penemu barang tidak mengetahui pemiliknya. Syekh Ahmad bin Umar As-Syathiri menegaskan:

وَشَرْعًا مَا وُجِدَ مِنْ حَقٍّ مُحْتَرَمٍ غَيْرَ مُحْرَزٍ لَا يَعْرِفُ الْوَاجِدُ مُسْتَحِقَّهُ

Artinya, “Menurut syara’, luqathah adalah barang yang ditemukan berupa hak yang dimuliakan di tempat yang tidak terjaga di mana penemu barang tidak mengetahui orang yang berhak atas barang tersebut,” (Lihat Syekh Ahmad bin Umar As-Syathiri, Al-Yaqutun Nafis, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan ketiga, 2011 M, halaman 505).

Dalam komentarnya atas kitab di atas, Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar As-Syathiri mengatakan:

فَلَوْ كَانَ شَخْصٌ يَمْشِيْ فِي الطَّرِيْقِ فَوَجَدَ مَثَلًا حَقِيْبَةً مَرْمِيَّةً عَلَى جَانِبِ الطَّرِيْقِ وَبِدَاخِلِهَا نُقُوْدٌ أَوْ وَجَدَ إِنَاءً أَوْ كِتَابًا وَصَاحِبُهُ غَيْرُ مَعْرُوْفٍ فَهَذَا الْعَيْنُ الْمَوْجُوْدَةُ تُسَمَّى لُقَطَةً لِأَنَّ لَاقِطَهَا لَا يَعْرِفُ مَالِكَهَا.

Artinya, “Apabila seseorang berjalan di jalan kemudian menemukan tas yang tergeletak di tepi jalan dan di dalamnya terdapat emas, atau ia menemukan bejana atau buku, sementara pemiliknya tidak diketahui, maka barang yang ditemukan ini disebut dengan luqathah, sebab penemu barang tersebut tidak mengetahui pemiliknya,” (Lihat Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar As-Syathiri, Syarah Al-Yaqutun Nafis, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan ketiga, 2011 M, halaman 505).

Mengenai hukumnya, wajib bagi pihak penemu yang mengambilnya untuk mengetahui ciri-ciri barang tersebut dan menjaganya di tempat yang aman sampai ditemukan pemiliknya. Setelah mengetahui ciri-cirinya, ia wajib mengumumkannya selama setahun. Tempat pengumuman bisa dilakukan di manapun seperti masjid, pasar atau tempat-tempat ramai lainnya. Atau dapat juga dishare melalui media sosial.

Selanjutnya, bila ditemukan pemiliknya, ia wajib menyerahkan kepadanya. Namun, bila setelah satu tahun diumumkan tidak kunjung ditemukan pemiliknya, pihak penemu emas atau perak tersebut diperkenankan untuk memilih di antara dua opsi.

Pertama, memilikinya dengan shighat pengambilalihan hak milik seperti “Saya memiliki emas/ perak ini.” Setelah diucapkan shighat, secara otomatis barang tersebut menjadi hak penuh penemu. Ia boleh menggunakannya secara pribadi atau disedekahkan.

Kedua, tetap menyimpannya sampai ditemukan pemiliknya. Opsi kedua ini bila penemu barang tidak menghendaki untuk memiliki barang yang ia temukan. Dalam teknik penyimpanan atau penjagaan, terdapat perbedaan di antara ulama. Menurut Syekh Zainuddin Al-Malibari dan Syekh Zakariyya Al-Anshari dalam Syarh At-Tahrir, barang tersebut dijual dan uang penjualannya disimpan. Sedangkan menurut Syekh Ibnu Qasim Al-Ubbadi, Syekh Khatib As-Syarbini, dan Syekh Ibrahim Al-Baijuri, barang tersebut tidak dijual, namun disimpan sebagaimana kondisi semula.

Syekh Zainuddin Al-Malibari mengatakan:

لَوِ الْتَقَطَ شَيْئًا لَا يُخْشَى فَسَادُهُ كَنَقْدٍ وَنُحَاسٍ بِعِمَارَةٍ أَوْ مَفَازَةٍ عَرَّفَهُ سَنَةً فِيْ الْأَسْوَاقِ وَأَبْوَابِ الْمَسَاجِدِ فَإِنْ ظَهَرَ مَالِكُهُ وَإِلَّا تَمَلَّكَهُ بِلَفْظِ تَمَلَّكْتُ وَإِنْ شَاءَ بَاعَهُ وَحِفَظَ ثَمَنَهُ

Artinya, “Apabila seseorang menemukan barang yang tidak rentan rusak seperti emas atau perak dan tembaga, di keramaian atau di hutan, maka ia wajib mengumumkannya selama satu tahun di pasar-pasar dan pintu-pintu masjid. Bila kemudian jelas pemiliknya, maka wajib dikembalikan. Bila tidak, maka ia dapat memiliknya dengan lafazh ‘Saya memiliki.’ Bisa juga dengan menjualnya dan menyimpan uang hasil penjualan benda tersebut,” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, Hamisy I’anatut Thalibin, Surabaya, Al-Haramain, tanpa keterangan tahun, juz III, halaman 250).

Mengomentari pendapat Syekh Zainuddin Al-Malibari di atas, Syekh Abu Bakar bin Syatha mengatakan:

قَوْلُهُ وَإِنْ شَاءَ بَاعَهُ وَحِفَظَ ثَمَنَهُ) مِثْلُهُ فِيْ شَرْحِ التَّحْرِيْرِ. وَالَّذِيْ صَرَّحَ بِهِ سم وَالْخَطِيْبُ عَلَى أَبِيْ شُجَاعٍ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ فِيْ هَذِهِ الْحَالَةِ، بَلْ هُوَ مُخَيَّرٌ بَيْنَ تَمَلُّكِهِ وَبَيْنَ حِفْظِهِ عَلَى الدَّوَامِ، وَصَرَّحَ بِهِ الْبَاجُوْرِيُّ أَيْضًا.

Artinya, “Ungkapan Syekh Zainuddin, bisa juga dengan menjualnya dan menyimpan uang hasil penjualan benda tersebut, pendapat ini senada dengan keterangan dalam Syarah At-Tahrir karya Syekh Zakariya Al-Anshari). Sedangkan pendapat yang ditegaskan Syekh Ibnu Qasim dan Al-Khatib Al-Syarbini atas matan Abu Syuja’, bahwa barang tersebut tidak dijual, namun penemu diperkenankan memilih antara memilikinya dan menjaganya untuk selamanya. Pendapat ini juga ditegaskan Syekh Al-Bajuri,” (Lihat Syekh Abu Bakar bin Syatha, I’anatut Thalibin, Surabaya, Al-Haramain, tanpa keterangan tahun, juz III, halaman 250).

Kami menyarankan emas atau perak yang ditemukan sebagaimana yang disampaikan penanya tidak diperkenankan langsung disedekahkan. Namun temuan itu harus terlebih dahulu diumumkan selama satu tahun, setelah itu boleh untuk dimiliki dengan shighat pengambilan hak alih kepemilikan. Dalam titik ini, pihak penemu memiliki hak penuh atas barang tersebut, termasuk menyedekahkannya.

Jam'iyyah Dzikir dan Sholawat Al 'Asyiqin


Al 'Asyiqin adalah sebuah Jam'iyyah yang bergerak di bidang sosial keagamaan yang bertujuan sebagai wadah silaturahmi dan tempat berkreasi anak muda.

Didirikan pada tanggal 18 Juni 2016 oleh Amir Faizal di Surabaya dengan menggandeng beberapa sahabat - sahabatnya, untuk meramaikan dan mensukseskan program kegiatan Jam'iyyah seperti Majelis Rutin Maulidur Rosul, Pembacaan Maulid Shimtud Dhuraar, Majelis Taklim, Majelis Dzikir, Kajian Kitab Kuning, dan Ziarah Wali.

Harapan pendiri semoga Jam'iyyah ini dapat menjadi oase ditengah gersang nya spiritual anak muda dan menjadi wadah silaturahmi dalam rangka merekatkan persatuan dan kesatuan.
Jaya Terus Al 'Asyiqin, Hidup Nahdlatul Ulama' dan NKRI Harga Mati.
Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammad

Top